Prestasi Bukan Cukup: Ilmuwan Indonesia Harus Jadi Motor Perubahan

Prestasi Bukan Cukup: Ilmuwan Indonesia Harus Jadi Motor Perubahan

Oleh : iTheoS

Prestasi Bukan Cukup: Ilmuwan Indonesia Harus Jadi Motor Perubahan

oleh : Redaksi

Ratusan peneliti dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia kembali menorehkan prestasi dengan masuk dalam daftar 2% ilmuwan terbaik dunia yang dirilis Stanford University bekerja sama dengan Elsevier BV. 

Daftar ini disusun berdasarkan indikator publikasi ilmiah, jumlah sitasi, h-index, serta kontribusi penulis dalam bidang keilmuan.

Berdasarkan data terbaru yang dirilis melalui Elsevier Data Repository, sejumlah kampus besar di Indonesia menempati posisi dominan dalam daftar tersebut. Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB University), serta Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menjadi penyumbang terbesar peneliti Indonesia yang diakui di kancah internasional.

Selain itu, Universitas Airlangga (Unair), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Hasanuddin (Unhas), dan Universitas Sebelas Maret (UNS) juga mencatatkan sejumlah dosen dan peneliti dalam daftar tersebut. 
Jumlah ilmuwan Indonesia yang berhasil masuk setiap tahun terus meningkat, menandakan kualitas riset nasional yang kian diakui global.

Daftar ilmuwan terbaik dunia versi Stanford–Elsevier ini rutin diperbarui setiap tahun dan menjadi salah satu acuan internasional dalam mengukur kontribusi akademisi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Masuknya ratusan peneliti Indonesia dalam daftar 2% ilmuwan terbaik dunia versi Stanford–Elsevier seharusnya menjadi kabar baik sekaligus momentum refleksi. 

Fakta ini menunjukkan bahwa kualitas riset dan dedikasi akademisi Indonesia mampu menembus pengakuan internasional. 
Namun, euforia semata tidak cukup. Penghargaan tersebut mesti dibaca sebagai sinyal bahwa ekosistem riset dalam negeri masih punya peluang besar untuk tumbuh lebih kuat.

Selama ini, tantangan terbesar dunia akademik di Indonesia adalah keterbatasan dana penelitian, birokrasi yang rumit, serta minimnya kolaborasi lintas kampus dan industri. 

Para peneliti yang berhasil masuk daftar internasional itu membuktikan bahwa dengan sumber daya terbatas pun, kontribusi keilmuan Indonesia tetap bisa diakui. 

Bayangkan jika dukungan negara, kampus, dan dunia usaha lebih serius diarahkan pada riset jangka panjang, bukan sekadar publikasi angka-angka.

Selain itu, masuknya ilmuwan Indonesia dalam daftar elit dunia harus menjadi inspirasi bagi generasi muda. Dunia riset tidak hanya soal reputasi, tetapi juga kontribusi nyata bagi pembangunan bangsa. 

Penelitian di bidang kesehatan, pangan, lingkungan, hingga teknologi harus diarahkan pada solusi masalah nasional—dari stunting hingga transisi energi.

Karena itu, pemerintah dan perguruan tinggi perlu menjadikan capaian ini sebagai alasan memperkuat kebijakan riset. Peningkatan anggaran, insentif peneliti, hingga penyederhanaan regulasi riset harus menjadi prioritas. 

Tanpa itu, capaian internasional hanya akan menjadi berita musiman, bukan pijakan menuju lompatan besar ilmu pengetahuan Indonesia.

Pengakuan Stanford–Elsevier hanyalah awal. Pertanyaan mendasarnya: apakah kita siap mengubah prestasi individual menjadi kekuatan kolektif untuk membawa riset Indonesia berdampak lebih luas, baik bagi bangsa maupun dunia?