Debat Kebijakan Ekonomi: Pencairan Rp 200 Triliun SAL untuk Stimulus Kredit vs Risiko Stabilitas

Debat Kebijakan Ekonomi: Pencairan Rp 200 Triliun SAL untuk Stimulus Kredit vs Risiko Stabilitas

Oleh : iTheoS

Glitik – Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya untuk mencairkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) senilai Rp 200–435 triliun yang tersimpan di Bank Indonesia (BI) guna mendorong penyaluran kredit perbankan memicu perdebatan serius di kalangan ekonom. Kebijakan ini dinilai berpotensi memacu pertumbuhan Ekonomi, namun juga mengandung risiko destabilisasi sistem keuangan jika tidak dikelola hati-hati.

Langkah Menteri Keuangan tersebut didasarkan pada teori Ekonomi makro klasik, khususnya model IS-LM, yang menyatakan bahwa penambahan likuiditas dapat menurunkan suku bunga, mendorong investasi, dan akhirnya menggerakkan perekonomian. Teori ini banyak didukung dalam literatur Ekonomi utama, termasuk karya Blanchard (2017) dan Mankiw (2021).

Namun, sejumlah ekonom mengingatkan bahaya di balik kebijakan ini. Yanwar Rizky, salah satu pengkritik, menyoroti pengalaman krisis 1998 ketika kebijakan serupa – likuiditas melalui BLBI – justru disalahgunakan perbankan untuk menutup kerugian, bukan menyalurkan kredit. Beberapa riset terkini dari LPEM FEB UI (2024) juga menunjukkan bahwa masalah utama penyaluran kredit justru terletak pada lemahnya sektor riil, bukan kurangnya likuiditas.

Beberapa risiko yang diidentifikasi meliputi:

Potensi penyalahgunaan oleh bank bermasalah. Dana dapat digunakan untuk menutup kerugian disalurkan sebagai kredit.

Gangguan pada pasar obligasi negara. Penarikan dana besar-besaran dapat mengganggu stabilitas pasar Surat Berharga Negara.

Ancaman terhadap independensi BI. Intervensi pemerintah dalam pengelolaan dana di BI dapat mengikis independensi bank sentral.

Inefektivitas tanpa perbaikan fundamental. Penambahan likuiditas tidak akan efektif tanpa perbaikan regulasi, birokrasi, dan iklim investasi.

Mishkin (2019) dalam The Economics of Money, Banking, and Financial Markets menegaskan bahwa stabilitas sistem keuangan harus menjadi prioritas sebelum melakukan ekspansi moneter agresif. Para ekonom dari UI dan UGM juga merekomendasikan pendekatan hati-hati dengan memperkuat fundamental sektor perbankan dan riil terlebih dahulu.

Debat ini memiliki implikasi penting bagi generasi muda. Keberhasilan kebijakan ini dapat membuka lebih banyak lapangan kerja dan mempermudah akses kredit, sementara kegagalan dapat berujung pada krisis Ekonomi yang dampaknya akan ditanggung oleh generasi muda melalui pengangguran, pajak yang lebih tinggi, dan penurunan daya beli.

Kebijakan Purbaya kini menjadi ujian penting antara teori Ekonomi textbook dan realitas kompleks politik-Ekonomi Indonesia. Sebagaimana diperingatkan Krugman (2009), stimulus fiskal dan moneter dapat menjadi penyelamat, tetapi juga dapat memperdalam luka Ekonomi jika salah sasaran.