Media Sosial – Jalan Pintas Menuju Indonesia Emas atau Jurang Krisis Generasi Muda?

Media Sosial – Jalan Pintas Menuju Indonesia Emas atau Jurang Krisis Generasi Muda?

Oleh : ekachn

Media Sosial – Jalan Pintas Menuju Indonesia Emas atau Jurang Krisis Generasi Muda?

Oleh : Chandra 

Di balik kebanggaan bahwa Indonesia kini menempati posisi ke-4 dunia dengan 143 juta pengguna media sosial aktif, ada pertanyaan mendasar yang harus kita renungkan: apakah capaian ini akan menjadi batu loncatan menuju “Indonesia Emas 2045” atau justru lubang jebakan yang menggerus kualitas generasi muda kita?

Generasi muda hari ini tumbuh dengan ponsel di tangan, notifikasi di telinga, dan algoritma di depan mata. Media sosial memang membuka peluang luar biasa—mencetak wirausaha digital, melahirkan aktivis muda, bahkan mempercepat penyebaran pengetahuan. Mereka bisa belajar bisnis dari TikTok, berdiskusi politik di X, atau mengekspresikan seni di Instagram. Ini adalah bentuk demokratisasi ruang publik digital yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, mari jujur: kita juga melihat sisi gelapnya. Anak-anak remaja yang lebih fasih “scrolling” daripada membaca buku. Rasa percaya diri yang rapuh karena standar kecantikan buatan filter kamera. Persahabatan yang diukur dari “like”, bukan dari tatapan mata. Bahkan, sebagian mulai terjebak dalam lingkaran kecemasan, depresi, hingga cyberbullying yang menghantui malam mereka.

Peringkat tinggi Indonesia dalam penggunaan media sosial seharusnya tidak hanya jadi angka statistik yang kita rayakan, melainkan alarm yang membunyikan peringatan. Apalagi, penelitian menunjukkan rata-rata remaja kita bisa menghabiskan lebih dari 5 jam sehari di platform digital. Bayangkan, hampir seperempat hidup mereka dihabiskan dalam realitas virtual.

Di sinilah peran negara, sekolah, dan keluarga tidak bisa lagi ditawar. Regulasi yang membatasi akses anak di bawah umur, kampanye literasi digital, hingga pendidikan orang tua tentang pola asuh digital, semuanya harus jalan beriringan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan perusahaan platform yang algoritmanya lebih mementingkan engagement daripada kesehatan mental.

Generasi muda Indonesia punya potensi menjadi generasi emas—kreatif, berdaya, dan mendunia. Tapi potensi itu hanya bisa tumbuh jika media sosial digunakan sebagai alat, bukan tuan.

Maka, pertanyaannya sederhana namun krusial: mau kita biarkan anak muda kita tumbuh jadi “generasi scroll” yang larut dalam layar, atau “generasi emas” yang menjadikan media sosial sebagai batu loncatan untuk melompat lebih tinggi?