Kejatuhan Titan Tekstil Indonesia: Tragedi PT Sritex yang Membuat Ribuan Pekerja Terpuruk

Kejatuhan Titan Tekstil Indonesia: Tragedi PT Sritex yang Membuat Ribuan Pekerja Terpuruk

Dari Puncak Kesuksesan ke Lembah Kegelapan

PT Sri Rejeki Isman Tbk, yang lebih dikenal sebagai PT Sritex, pernah menjadi ikon keunggulan industri tekstil Indonesia. Bermula pada tahun 1966 di Sukoharjo, Jawa Tengah, perusahaan ini berkembang dari sebuah usaha dagang sederhana menjadi salah satu raksasa tekstil terintegrasi terbesar di kawasan Asia Tenggara. Dengan jumlah karyawan mencapai lebih dari 50.000 orang di masa kejayaannya, Sritex berhasil memasok kain dan pakaian tidak hanya untuk pasar dalam negeri, tetapi juga ke merek-merek dunia seperti Zara, Guess, dan Timberland. Bahkan, perusahaan ini menjadi andalan dalam memproduksi seragam militer untuk berbagai negara, termasuk Indonesia sendiri. Namun, di balik gemerlap prestasi tersebut, kini Sritex terjerumus ke dalam jurang kebangkrutan yang menyedihkan.

Pada Oktober 2024, Mahkamah Agung mengesahkan status pailit Sritex setelah perusahaan ini gagal melunasi utang sebesar Rp24 triliun. Hingga 1 Maret 2025, Sritex resmi menghentikan operasinya, meninggalkan sekitar 11.000 karyawan tanpa pekerjaan. Apa yang menyebabkan raksasa ini ambruk? Bagaimana sebuah perusahaan yang pernah dihiasi penghargaan internasional bisa jatuh begitu dalam? Tulisan ini akan mengupas secara rinci latar belakang Sritex, perjalanan bisnisnya, penyebab kehancurannya, serta dampaknya terhadap perekonomian dan masyarakat Indonesia.

Dari Tokoh Kecil hingga Penguasa Industri

Sritex lahir dari tangan H. Muhammad Lukminto, seorang wirausahawan berpandangan jauh dari Solo, Jawa Tengah, pada tahun 1966. Awalnya, perusahaan ini hanya berupa kios sederhana bernama “Sri Redjeki” di Pasar Klewer, Solo, yang fokus pada perdagangan tekstil. Dua tahun kemudian, pada 1968, Lukminto mendirikan pabrik pertamanya di Baturono, Solo, untuk memproduksi kain dasar yang diolah dengan teknik pemutihan dan pewarnaan. Dari langkah kecil itulah, Sritex mulai menapaki jalan menuju ekspansi besar.

Seiring berjalannya waktu, Sritex menjelma menjadi perusahaan tekstil terintegrasi yang mengendalikan seluruh proses produksi, mulai dari pemintalan benang, penenunan kain, pewarnaan dan pencetakan desain, hingga pembuatan pakaian jadi. Pusat operasinya kemudian berpindah ke Sukoharjo, Jawa Tengah, dan kapasitas produksinya melonjak drastis. Berdasarkan informasi resmi, pada masa puncaknya, Sritex mengoperasikan 24 unit pemintalan, 7 fasilitas tenun, 5 unit pewarnaan, dan 11 lini produksi garmen. Dalam setahun, perusahaan ini mampu menghasilkan 540 juta meter kain mentah, 540 juta yard kain berwarna dan bercorak, serta 25 juta potong pakaian siap pakai.

Pada tahun 2013, Sritex melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham SRIL, menandakan langkah besar menuju pasar global. Dengan visi menjadi “produsen tekstil dan garmen terbesar, terpercaya, dan paling dihormati di dunia,” Sritex terus berinovasi untuk mempertahankan reputasinya di kancah internasional. Pada 2017, laba bersih perusahaan mencapai USD68,03 juta, naik 14,6% dari tahun sebelumnya, mencerminkan kesehatan finansial yang impresif pada saat itu.

Sritex juga dikenal karena dedikasinya pada kualitas dan keberlanjutan. Perusahaan ini mengadopsi sistem manajemen modern dan meraih berbagai sertifikasi internasional untuk memenuhi ekspektasi pelanggan dunia. Tak hanya itu, Sritex aktif dalam kegiatan sosial, seperti menggelar donor darah bersama PMI Sukoharjo dan mendukung kesejahteraan karyawan melalui berbagai program.

Pengakuan Dunia dan Prestasi Gemilang

Sebelum mengalami kemerosotan, Sritex mengukir sejumlah pencapaian yang membanggakan. Pada 2016, Forbes memasukkan Sritex ke dalam daftar “50 Perusahaan Terbaik” di Indonesia. Di tahun berikutnya, perusahaan ini meraih penghargaan Asian Asset Award untuk kategori “Pengelolaan Liabilitas Terbaik” dari The Asset Triple A di Hong Kong, berkat keberhasilannya menerbitkan obligasi senilai USD350 juta dengan jangka waktu 5 tahun. Dana tersebut dimanfaatkan untuk melunasi utang sebelumnya, sekaligus meningkatkan kredibilitas finansialnya.

Sritex juga menerima penghargaan seperti “Penerbit Terbaik” dari Bisnis Indonesia Group dan “Penghargaan Bisnis Keluarga” dalam kategori transformasi menuju institusi profesional dari Sindo. Prestasi ini menunjukkan kemampuan Sritex menggabungkan nilai keluarga dengan pendekatan bisnis modern, sebuah karakteristik yang diwarisi dari generasi Lukminto.

Di pasar global, Sritex menjadi kebanggaan nasional dengan menyediakan produk untuk merek ternama dan memenuhi kebutuhan seragam militer berkualitas tinggi bagi berbagai negara. Dengan lebih dari 50.000 tenaga kerja pada puncaknya, Sritex bukan hanya pilar ekonomi lokal, tetapi juga bukti nyata daya saing Indonesia di dunia.

Beban Utang dan Tekanan Impor

Sayangnya, di tengah keberhasilan itu, benih-benih masalah mulai tumbuh. Salah satu penyebab utamanya adalah utang yang membengkak tanpa kendali. Pada 2022, Sritex tercatat memiliki kewajiban finansial sebesar Rp24 triliun, disertai kerugian bersih Rp6 triliun. Meski pada 2023 kerugian menyusut menjadi Rp2,8 triliun, arus kas perusahaan tetap negatif hingga Rp15 triliun. Data ini mengindikasikan ketidakmampuan Sritex mengelola keuangan dan memenuhi tuntutan kreditor.

Faktor luar juga memperparah kondisi. Kebijakan pemerintah yang mempermudah impor tekstil, khususnya dari China, menjadi salah satu biang keladi. Pada 2024, Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 Tahun 2024 tentang pengaturan impor menuai kritik karena membiarkan produk tekstil murah membanjiri pasar domestik. Akibatnya, industri lokal, termasuk Sritex, kalah bersaing dengan harga impor yang jauh lebih rendah, sehingga permintaan terhadap produk dalam negeri anjlok.

Pandemi COVID-19 turut memperburuk situasi. Pembatasan global pada 2020-2021 mengacaukannya rantai pasok dan mengurangi pesanan pakaian, terutama dari pasar ekspor yang menjadi tumpuan Sritex. Meski kondisi pasar perlahan membaik, beban utang yang terlalu berat membuat perusahaan ini tak mampu pulih.

Jalan Menuju Kebangkrutan: Harapan yang Pupus

Berbagai upaya penyelamatan sempat dilakukan. Presiden Prabowo Subianto, yang dilantik pada Oktober 2024, menyuarakan niatnya untuk menyelamatkan Sritex demi melindungi ribuan pekerja. Namun, upaya itu sia-sia. Pada Desember 2024, Mahkamah Agung menetapkan Sritex pailit setelah proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) gagal mencapai kata sepakat dengan kreditor. Utang Rp24 triliun terbukti tak tertutupi meski seluruh aset perusahaan dilelang.

Pada 26 Februari 2025, Sritex mengumumkan PHK massal terhadap 8.400 karyawan tersisa. Hingga 1 Maret 2025, operasional perusahaan resmi dihentikan, menutup babak panjang salah satu legenda tekstil Indonesia.

Dampak Besar: Krisis Ekonomi dan Sosial

Penutupan Sritex bukan sekadar kehilangan bisnis, melainkan malapetaka ekonomi dan sosial. Sekitar 11.000 karyawan kehilangan pekerjaan pada fase akhir, sekitar 44.000 jiwa dengan asumsi setiap karyawan menghidupi 4 orang terancam kehilangan mata pencaharian. Wilayah Sukoharjo dan Solo, sebagai pusat aktivitas Sritex, kemungkinan akan menghadapi guncangan ekonomi lokal, mulai dari penurunan daya beli hingga lonjakan angka pengangguran.

Secara nasional, kejatuhan Sritex menjadi peringatan keras bagi industri tekstil Indonesia. Banyak kalangan menilai kebijakan impor yang longgar telah “mencabut nyawa” industri lokal. Tanpa tindakan tegas dari pemerintah, perusahaan tekstil lain berpotensi menyusul Sritex ke jurang kehancuran.

Refleksi: Pelajaran dari Tragedi Ini

Kisah Sritex menawarkan sejumlah hikmah. Pertama, pengelolaan utang yang ceroboh bisa menjadi bencana, bahkan bagi perusahaan besar. Kedua, ketergantungan pada ekspor tanpa rencana cadangan membuat bisnis rentan terhadap gejolak global. Ketiga, peran pemerintah sangat vital dalam melindungi industri domestik dari persaingan yang tidak adil.

Pemerintah perlu meninjau ulang Peraturan Menteri Perdagangan No. 8/2024 dan menerapkan langkah nyata, seperti memberikan keringanan pajak, mengontrol impor, atau mencari pasar baru. Tanpa intervensi, kejatuhan Sritex bisa menjadi titik awal keruntuhan sektor tekstil nasional.

Berakhirnya Sebuah Legenda

Sritex membuktikan bahwa kesuksesan tidak menjamin kelanggengan. Dari kios kecil di Pasar Klewer hingga menjadi penguasa tekstil dunia, perjalanan Sritex dipenuhi capaian luar biasa. Namun, utang besar, kebijakan impor yang merusak, dan guncangan ekonomi global akhirnya memadamkan nyala kejayaannya. Penutupan pada 1 Maret 2025 menjadi akhir dari sebuah legenda, sekaligus panggilan bagi Indonesia untuk lebih peduli pada industri lokal.

Apakah industri tekstil Indonesia masih punya masa depan setelah kepergian Sritex? Jawabannya tergantung pada waktu dan langkah kebijakan. Yang pasti, tragedi ini telah meninggalkan bekas mendalam pada ribuan keluarga dan perekonomian daerah.